Archive for 2016-09-25

Sayonara

Jumat, 30 September 2016
Posted by Unknown

Pernahkah kalian membayangkan, Bila kalian bisa jadi idola, Atau orang yang jenius, Bahkan sebagai profesor legenda. Bagaimana rasanya. Jika kalian mendapat julukan itu sekaligus? Mungkin sedikit kerepotan. Kalian mungkin tertawa melihat tulisanku ini. Tapi kalian bisa saja mewujudkannya, Kalau kalian mau. Jangan banyak omong kalau tidak bertindak alias tindakan lebih efektif daripada omongan untuk melakukannya. Itulah bagiku. Impian seperti omong kosong yang tak bisa kupercaya. ‘bodoh sekali’ atau ‘tidak masuk akal’ tapi mereka tetap bersikeras mencapainya. Kenapa? Kenapa aku tak tahu jawabannya? Mengapa? Kenapa aku tidak diizinkan bermimpi? Padahal aku tahu selama ini aku ingin mempunyai impian seperti mereka. Entah mengapa aku tak bisa bermimpi. Apakah ini cobaan dari-Nya? Tapi mengapa begitu berat? aneh.. Aku tak kunjung mendapatkan jawaban dari-Nya? Kalau begitu kenapa aku hidup? Kalau hidup itu semembosankan ini. Meskipun begitu, Aku masih punya satu teman, Harl Maena. Dia pun mencariku di halaman sekarang, Padahal aku di atap. Konyol sekali tingkahnya. Tapi aku menyukainya. Kebaikan hatinya tak tergantikan, Bagiku. Dia adalah sahabat terbaikku.
“Caroline!, Kau disini rupanya!,” Maena membentakku.
“Oh kau menemukanku,” Dengan simpel kujawab ringan. Dia menarik tanganku, Membawaku turun, Ke kelas VII-2, Kelasku. Kelas serasa sunyi, Karena hanya aku dan Maena. Namun, Tiba-tiba matahari tertutupi, Gerhana! Mustahil!, Aku terkejut besar, Apalagi belum ada berita gerhana, Ketika kulirik gerhana, Aku tertidur.
“Dimana ini?,” Tanyaku.
Tampak adikku, Machelle menari di panggung tiga tahun lalu, Aku cepat-cepat mengambil cermin. Aku kembali tepat tiga tahun yang lalu. “Apa artinya ini?!,” Batinku bingung. Machelle pingsan tepat setelah pertunjukannya di panggung, Dan opname di rumah sakit, Dua bulan kemudian, kondisinya mengkritis dan ia meninggal dunia, Setahun kemudian, Aku punya adik angkat, Namanya Kazuhaya Jenny, Ia penyendiri, Dan tak pernah mau bersamaku. Aku dapat menebak jelas yang terjadi di masa depan, Makanya aku harus cegah itu semua, Aku harus menelepon rumah sakit lebih awal itu akan membuat Machelle terobati.
Sekarang! Saat itulah aku sadar… Impianku adalah.. Membuat semuanya hidup bahagia! Itulah jawabannya. “Caroline, Machelle ia terkena serangan jantung, Do’akan dia tak apa-apa,” Mama tampak sedih dan kecewa. Aku mengangguk bersiap menelepon rumah sakit dengan ponselku. Lima menit lagi, Pertunjukan selesai, Aku menelepon rumah sakit dan siap siaga, Kemudian datangnya pas saat Machelle pingsan.
Keluargaku dan aku juga sudah menyusul di rumah sakit. Kulihat dari kaca besar, Machelle tak sadarkan diri di ruang yang tak boleh dimasuki oleh semua orang termasuk perawat, Kecuali dokter khusus yang menanganinya. Dokter bilang, Dia bisa sembuh kalau mendapat jantung baru. Batas waktunya tujuh bulan, Lebih banyak dari pada masa lalu. Dengan begini kami bisa mencarikan jantung untuk Machelle. Setelah kami diperbolehkan masuk untuk lima menit, Kami langsung masuk. Machelle tampak setengah sadar dan tersenyum melihat kami. Berat rasanya bagiku melihat senyum kepasrahannya. “Machelle!, Aku takkan biarkan kamu pergi… Sebelum.. ku..,” Aku menangis di depan adikku yang sangat kusayangi itu. “Tentu aku takkan mati untukmu.. untuk tujuh bulan,” Senyumnya menguasai pikiranku.
Ternyata Jantung itu sangat-sangat mahal. Kami semua harus kerja untuk bisa membelinya. Aku agak merasa sadis dengan kata-kata ‘beli Jantung’ Tapi, Demi adikku aku akan perjuangkan.
Aku mulai bekerja di kafe part time menjadi kasir. Kemudian aku juga mempromosikan berbagai produk dengan bayaran yang cukup tinggi. Sekolah kutelantarkan begitu saja. Padahal statusku adalah pelajar. Aku pergi bekerja pukul empat pagi dan pulang pukul sebelas malam. Itulah hidupku semasa itu. Aku merasa kelelahan. Namun aku dapat mengumpulkan biaya yang cukup. Aku pun berhenti menjadi part timer sebagai kasir. Tapi aku tetap mempromosikan produk-produk.
Dua bulan berlalu, Uangku sudah mencukupi, Tapi kugunakan untuk membuat kafe, Karena menguntungkan, Hasilnya dua kali lipat kerjaku. Karena dua bulan berlalu, Jantung yang kami ingin beli sudah terjual kepada yang membutuhkan juga.
Aku merasa putus asa. Kecewa, Gelisah… Akan kondisi Machelle yang makin buruk. Aku berpikir.. Kenapa aku mendirikan kafe waktu itu? Seharusnya uangnya kupakai beli jantung secepatnya.
Setelah satu bulan penuh berpikir, Aku menemukan jalan keluar yang terbaik. Yang termungkin. Tapi mama, papa, dan keluargaku tak boleh tahu rencanaku. Ya, Aku akan donorkan jantungku untuk Machelle. Aku pergi ke rumah sakit dengan terburu-buru, Aku menemui dokter yang merawat adikku. Aku bicara empat mata padanya, Dia menyetujuinya. “Kalau aku harus meninggal tidak apa-apa,” Ujarku disertai tangisan yang mendalam. Aku merasa diriku itu egois, Dan tak dapat diandalkan, Aku begitu bodoh dan aneh.. Itulah kenapa mereka semua membenciku.
Sebelum operasi dilaksanakan, Aku menyerahkan selembar kertas yang kupercayakan pada dokter untuk memberikannya pada keluargaku. Operasi berjalan lancar, Lima jam kemudian, Aku meninggalkan dunia yang kucintai. Asal aku bisa melihat tawa adikku lagi itu tidak masalah. Mama dan papa menangis sampai mengeluarkan darah dari mulutnya karena mereka tidak percaya apa yang kulakukan. Dokter memberikan kertas pada mereka.
Ma, Pa Ini aku Caroline.
Papa dan mama pasti percaya aku sayang adik kan? Kalau begitu ini wajar kan. Jangan nangis, Bukannya kalian senang.. Machelle bisa hidup di sisi kalian lagi.
Caroline sadar..
Caroline ini bodoh dan aneh.. Suka putus asa…, Juga menyebalkan dan egois.. Caroline sadar.
Caroline ini dibenci papa dan mama.. Buktinya papa dan mama tidak pernah menaruh perhatian padaku..
Caroline juga dibenci teman-teman di sekolah. Lebih baik aku tiada kan? Itu adil. Asal aku bisa lihat senyum kalian lagi, Tawa kalian lagi itu tak apa. Caroline sadar hidup Cuma sekali. Jadi Caroline serahkan pada Machelle yang diperhatikan.. Ya kan? Lagi pula.. Impianku tercapai .. Aku senang sekali Ma! Pa!
Caroline Kersyen .., Sayonara,..

Sumber :http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/sayonara-2.html

Ibuku Cintaku

Posted by Unknown

Pagi hari itu burung burung berkicau dengan suara indah, ayam berkokok, ibukku membangunkanku dari mimpiku, bintang yang masih TK ini mulet mulet seperti masih ingin tidur. Saat persiapan sekolah sudah siap. Ibuku mengambil termos esnya untuk jualan keliling. Lalu kita berangkat ke sekolahku
Sesampainya di sekolah ibuku menungguiku sampai pelajaran usai. Saat pulang sekolah aku diantar pulang oleh ibuku. Lalu aku ditinggal oleh ibuku untuk berjualan es lilin keliling
“Bu kemana?” tanyaku
“Ibu mau jualan dulu kamu di sini aja sama yangti”
Aku di rumah sama yangti. Aku tidak pernah tau ibuku jualan kemana tapi yang jelas ibuku hanya membawa satu termos es kecil berisi es lilin dan jumlahnya tidaklah banyak. Karena ibuku tidak cukup mempunyai modal untuk membeli bahan bahannya.
Hari itu ibuku tetap saja pulang malam. Esok harinya memasuki tarawih yang pertama aku diajak ibuku shalat di masjid dekat rumah saat di masjid banyak sekali anak anak dan orang yang melihatku seperti seolah olah mereka mengejek. Dan ibuku diejek oleh anak anak disana “Wasool” begitulah katanya. Dan aku pun ditanya sambil diejeknya pula.
Saat hari ulang tahunku mendekat. Ibuku pulang kerja semakin malam. Ibuku hanya bilang “Bintang kamu di rumah saja ya. Ibu cari uang buat ulang tahun kamu” ibuku mengatakan itu dengan nada menghibur, hati bintang sangatlah senang.
Bintang main kesana kemari sambil menceritakan kepada temanya “Aku loh sebentar lagi ulang tahun, dirayakan di sekolahku, kamu dateng ya” begitulah kata bintang.
Ternyata ibu bintang itu bekerja sampai jauh sekali dengan rumahnya. Saat hari ulang tahunya bintang tiba bintang senang sekali di sekolah tapi sedihnya karena tak punya cukup uang, ayam seperempat pun jadi. Emtah dipotong sekecil apa itu?. Saat bintang membuka nasi kotak. Itu ia berkata “ibu ayamnya kecil banget bu” lalu ibunya berkata “Nak hanya itu yang bisa ibu beri buat kamu. Ibu gak punya cukup uang nak. Gak papa kan yang penting kamu bahagia”
Saat sore harinya bintang dan ibunya terlihat bersepeda di tengah derasnya hujan. Mereka bermain hujan dengan gembira ria. Banyak orang yang mengejek mereka gila tapi bintang hanya berkata “ibuku cintaku aku bahagia bersamamu walau banyak yang mengejekmu aku tetap bahagia bersamamu”

Sumber :http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/ibuku-cintaku.html

Malam berselimut asap pekat di sebuah kota. Suara bising mesin-mesin kendaraan berlalu-lalang, Gemerlap cahaya warna-warni lampu kota telah membutakan penduduk yang berdesakan tinggal di dalamnya. Angin malam menyerbak, membekukan hingga ke rongga-rongga tulang, seakan meneror penduduknya untuk tetap terjaga dalam realita, seakan meneror penduduknya takluk dalam mimpi-mimpi tiada akhir. Sementara gedung-gedung korporasi berdiri angkuh melawan alam, di langit kota turun perlahan tiga makhluk yang berjubah sehitam malam, berkepala ular. Mereka bukan manusia, mereka makhluk yang diutus para dewa untuk menjadi saksi sebuah peristiwa malam ini. Mereka melayang dari langit ke bumi sambil menembangkan syair
Kini Ahasveros mewabah di atas bumi
Petualang yang tak pernah tahu jalan kembali
Demi mencari arti diri, terbang hingga ke arsy
Harus berakhir hangus, terbakar matahari!
Di sudut kota itu terdapat sebuah bukit, puncaknya tertutup oleh rimbunan hutan, seakan terpisah dari peradaban kota di bawahnya. Di Balik rimbunan hutan itulah sebuah rumah kayu sederhana berdiri muram, didiami seorang lelaki tua yang tak kalah muram. Wajahnya layu, pakaiannya kumal tak terurus dinodai sisa-sisa cat. Lelaki tua itu terus melukis pada sebuah kanvas, ditemani ratusan lukisan hasil karyanya yang dipajang memenuhi dinding-dinding rumah. Lukisan-lukisan itu dipenuhi debu namun masih memancarkan berbagai pemandangan dan peristiwa di dalamnya. Lukisan-lukisan dengan detail yang sangat cermat. Begitu hidup dan nyata. Namun, lukisan-lukisan itu kini hanya mampu memandang cemas pada lelaki tua yang telah menciptakannya. Bagaimana tidak cemas? Sudah beratus-ratus tahun sejak lelaki tua itu mengunci diri dalam gubuk kayunya, berfokus pada satu lukisan yang kini tengah dilukisnya. Sebuah lukisan yang menggambarkan kobaran api yang menyala-nyala seakan mampu menghangatkan seisi ruangan. Sambil terus melukis sesekali mulutnya bergumam pelan “Siapa aku?”. Niestre nama lelaki tua itu.
Zaman dahulu ketika malam masih berselimut kabut tebal di sebuah desa yang begitu terpencil. Jauh dari suara bising mesin-mesin kendaraan, Jauh dari cahaya warna-warni lampu kota, angin malam masih menyerbak, menembus sela-sela rumah kayu yang dibangun seadanya, seakan membujuk penduduk untuk tidur lelap dalam rumah gubuknya yang sederhana, seakan membujuk penduduk untuk hanyut dalam mimpi-mimpinya yang sederhana. Di desa itulah Niestre dilahirkan. Sejak baru dilahirkan telah ia tunjukan sebuah mukjizat layaknya seorang nabi. Ketika tabib mengangkat tubuh bayi mungilnya dari rahim ibunya dan menimangnya, ia tidak menangis seperti bayi kebanyakan. Justru telunjuk tangannya bergerak-gerak melukis sesuatu dari darah bekas persalinan, Niestre lukis bunga-bunga padma di tangan si tabib sebagai tanda terima kasih, Tabib itu takjub keheranan. Namun si bayi kecil Niestre hanya membalas keheranan itu dengan tersenyum manis. Kabar pun tersiar ke seluruh desa, tentang bayi ajaib yang mampu melukis ketika baru saja dilahirkan, desa kecil itu kemudian geger hingga kabar itu menjadi topik yang ramai dibicarakan dimana-mana.
Waktu pun berlalu Seiring bertambahnya usia, kemampuan melukis Niestre semakin bertambah. Kabar tentang si bayi ajaib tidak juga surut, justru setiap hari Niestre mendatangkan keajaiban-keajaiban baru bersama lukisannya. Bahkan bagi mereka yang tidak mengerti tentang lukisan pun dapat melihat bahwa lukisan-lukisan Niestre begitu hidup, Lukisan-lukisan Niestre bukan hanya indah tapi mampu mendatangkan perasaan ajaib dan magis bagi penikmatnya. Berbagai cerita ajaib muncul dari Niestre dan lukisannya. Sewaktu remaja Niestre yang sedang asik jalan-jalan di sore yang cerah bertemu dengan Orpheus, yang sedang duduk di sebuah batu di padang rumput, memainkan lagu duka cita atas hilangnya istrinya, nada-nada yang dimainkan dari harpanya begitu memilukan menusuk dada, sambil memetik senar harpanya ia tembangkan syair-syair berisi ratapan karena kehilangan Euridice. Kesedihan Orpheus karena tak mampu menyelamatkan Euridice dari kematian seakan mengubah cuaca cerah sore itu menjadi gelap dan mendung. Niestre yang merasa kasihan pada sang dewa musik membuatkannya sebuah lukisan Euridice dan memberikannya pada orpheus. Orpheus begitu gembira melihat lukisan Euridice yang bukan saja mirip namun melihat lukisan itu Orpheus merasa seperti bertemu Euridice secara utuh kembali. Ia peluk erat lukisan Euridice, cinta sejatinya telah kembali hidup dalam sebuah kanvas. Ia berterima kasih sebanyak-banyaknya pada Niestre. Ia tinggalkan harpa di padang rumput, sambil membawa pulang lukisan Euridice ke rumahnya. Orpheus pun menjalani hidup dengan bahagia.
Selain menyelamatkan Orpheus dari duka citanya, Niestre bersama lukisannya bahkan mampu menyelamatkan kehidupan sebuah desa. Konon suatu ketika, di ujung timur negeri ini terdapat sebuah desa yang sangat miskin. Desa Kwor namanya, seringkali desa ini tertimpa bencana hingga menimbulkan wabah kelaparan yang sangat parah. Bayi-bayi busung lapar, orang dewasa kurus tak bertenaga, sawah-sawah kering tak terurus, dalam kondisi yang begitu mengkhawatirkan itu para pemimpin desa malah lari tunggang-langgang enggan bertanggung jawab pada nasib penduduknya, maka datanglah Niestre ke sana, sesampainya di Desa Kwor Niestre langsung mulai melukis berbagai macam buah-buahan lezat dan berbagai hidangan makanan di sebuah kanvas setinggi dua tubuh manusia dan di pajangnya di depan balai desa. Seketika bayi-bayi lapar yang melihat lukisan itu berhenti menangis seakan baru saja diberi asi, begitu juga orang-orang dewasa yang menatap lukisan itu, mereka seketika kenyang dan bertenaga, lalu ramai-ramai bangkit dari rasa laparnya dan berbondong-bondong mengolah sawahnya lagi. Walau bencana kembali datang, namun setiap melihat lukisan Niestre di balai desa, penduduk desa kwor menjadi semakin kuat dan tangguh. Tidak lama kemudian desa tersebut menjadi makmur bahkan menjadi salah satu desa termakmur di Negeri ini.
Namun kini segala kisah-kisah heroik Niestre telah jauh berlalu, kini Niestre hanya pelukis tua muram dalam gubuk kayu muram yang tenggelam dalam satu lukisan. Lukisan-lukisan masa lalunya kini menderita melihat sang pencipta yang tak lagi menyala seperti dulu. Sesekali Nistre menatap lukisan-lukisannya yang lain sambil bertanya pada mereka “Siapa aku?”, Lukisan-lukisan itu berusaha menjawab pertanyaan Niestre, namun Niestre tidak pernah mampu mendengar suara-suara itu, Niestre hanya mendengar keheningan. “kalian semua telah kucipta namun tidak juga mampu menjawab siapa aku”. Putus asa karena tak pernah mendengar jawaban dari lukisan-lukisan itu ia kembali melanjutkan lukisan yang nampak seperti kobaran api yang terus dibuatnya semakin detail, lebih hidup, tambah menyala. Seiring pudarnya kisah-kisah Niestre yang tenggelam dimakan waktu, seiring meredupnya cahaya kemanusiaan dalam tubuhnya. Seiring turunnya tiga mahluk berjubah hitam berkepala ular di atas rumah kayunya. Namun Niestre tidak juga mendengar suara-suara lukisannya yang menembangkan syair
Kini Ahasveros mewabah di atas bumi
Petualang yang tak pernah tahu jalan kembali
Demi mencari arti diri, terbang hingga ke arsy
Harus berakhir hangus, terbakar matahari!
Kabar Niestre yang telah menyelamatkan desa kwor dengan lukisannya tersebar ke seluruh penjuru bumi, sepulangnya dari Desa Kwor berbagai sanjungan dan pujian menyambut Niestre di desa kelahirannya. Orang-orang desanya turut bangga dengan apa yang Niestre lakukan pada Desa Kwor. Ia dinyatakan sebagai pahlawan. Niestre yang hanya pemuda sederhana kini disanjung seluruh kota. Kepulangan ke desanya disambut dengan syukuran di balai desa. Setiap sore anak-anak kecil meneriakan nama Niestre seperti pahlawan saat mereka sedang asyik bermain di lapangan, ibu-ibu mendongengkan anak-anaknya sebelum tidur dengan kisah Niestre yang menyelamatkan Desa Kwor seperti musa yang menyelamatkan kaum Yahudi dari Firaun. Bapak-bapak mulai mendiskusikan kemungkinan Niestre menjadi demang desa pada saat mereka kumpul-kumpul di sore hari, dan yang lebih membuat kalut adalah ketika perempuan-perempuan desa mulai cari-cari perhatian saat melihat Niestre jalan-jalan santai di sore hari.
Hingga di suatu senja pintu gubuk kayu Niestre diketuk seseorang, begitu pintu itu dibuka terlihatlah seorang perempuan muda dengan rambut hitam terurai lurus sepunggung dengan warna kulit coklat kemerahan di ambang pintu rumah. Mata perempuan itu berbentuk almond dengan garis wajah oval, ia sunggingkan senyum anggun namun menggoda dari bibirnya yang kemerahan, penuh, dan sensual “namaku Empousa, senang bisa bertemu dengan anda”, Niestre yang tidak biasa kedatangan tamu begitu gugup dan hanya senyum seadanya kedatangan tamu perempuan sore-sore seperti ini. “Ya, ada apa?”. Jelas mata tajam dan senyum sensual Empousa telah membius logika Niestre hingga hanya bisa berkata ada apa. “tidak ada, hanya ingin tahu bagaimana kediaman seorang pelukis sekaligus pahlawan yang dielu-elukan semua orang”. Jawabnya dengan nada datar namun sopan. Niestre kehilangan logika untuk melontarkan pertanyaan, Niestre hanya menjawab “Ya, beginilah, sama saja seperti orang-orang lain”. Empousa mulai masuk ruangan sebelum dipersilakan, melewati Niestre yang hanya diam mematung dengan segudang tanda tanya di kepala, ia pandangi sekeliling ruangan yang dipenuhi oleh lukisan-lukisan. “Kau terlalu merendah Niestre, dinding rumah orang pada umumnya tidak dipenuhi oleh lukisan-lukisan luar biasa seperti ini” mata perempuan itu mengerling pada Niestre dan tubuhnya gemulai seperti menari ketika ia berjalan mengagumi satu-persatu lukisan Niestre. Niestre seakan terhipnotis oleh setiap langkah perempuan itu. Di akhir langkah gemulainya, perempuan itu menatap nakal mata Niestre, kilau impulsif terpancar dari sana, ia berkata “Lukisan-lukisan yang luar biasa, coba ceritakan padaku maksud dan arti setiap lukisan-lukisanmu”
Maka sejak itu setiap matahari hampir terbenam Empousa mengunjungi rumah kayu Niestre di puncak bukit, saling bercerita tentang arti dan makna setiap lukisan-lukisan Niestre. Lukisan-lukisan Niestre sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya. Tak akan pernah habis untuk diceritakan satu-persatu. Pertemuan demi pertemuan terus terjadi, membuat mereka semakin dekat, dan kehilangan batas. Terkadang bila malam terlalu dingin mereka berdua malah lupa bercerita tentang makna lukisan dan asik bercinta sepanjang malam. Semua kedekatan mereka terhenti ketika sebuah pertanyaan terlontar dari Empousa “sudah banyak kau ceritakan makna lukisanmu, namun tidak adakah dari lukisan-lukisanmu yang mencurahkan hati dan perasaanmu sendiri? kau hanya sibuk melukis karena orang lain atau karena mengagumi suatu hal”, “Perasaan sendiri? untuk apa?”. Empousa menjawab tenang. “ya ini semua tentang dirimu, ini kehidupanmu, kau berhak tahu siapa dirimu, sampai kapan kau hanya mengagumi orang-orang lain, benda-benda lain, kau punya anugerah yang luar biasa, gunakanlah, lukislah dirimu sendiri agar aku bisa mengenal siapa kamu?”. “Siapa aku?” pikiran Niestre benar-benar kacau mendengar pertanyaan itu, pertanyaan yang tidak pernah terlintas dalam benaknya. “ya kau adalah manusia yang luar biasa, mudah saja bukan untuk melukis tentang dirimu.” Niestre diam, pikirannya jauh menerawang, “Aku akan datang saat kau telah mengetahui arti dirimu”
“Tunggu sebentar! aku tahu siapa aku, akan aku lukis sekarang juga”, Niestre bangkit mengambil kanvas, kuas, serta cat, segera membuat sketsa dari pikirannya. Tidak sampai 15 menit lukisan itu sudah jadi. “inilah aku” katanya sambil menyerahkan sebuah lukisan bunga padma pada Empousa, bunga padma yang sama yang pernah ia lukis sewaktu baru dilahirkan. Hanya saja kali ini dengan penggambaran yang lebih detail dan hidup. Bunga padma itu berwarna kuning, dengan kilau ceria di atas sebuah kolam yang jernih. Seperti biasanya lukisan Niestre begitu hidup. Riakan kolam yang lembut dalam sebuah kanvas seakan menceritakan suatu ketenangan, bunga padma yang berkilau seakan menceritakan sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan dan ketenangan, titik spiritualitas tertinggi seorang manusia. Menerima lukisan itu Empousa hanya mengulum bibir Niestre dan berkata “kau lebih dari itu Niestre, lihatlah lagi ke dalam dirimu dan kau akan tahu siapa dirimu. Aku dapat melihatnya, dirimu sesungguhnya bukanlah bunga padma yang kau lukis ini”. Empousa pergi, meninggalkan Niestre dalam labirin tanya siapa aku
Sejak itu Niestre mulai mencari jati dirinya, ia tenggelam dalam sebuah tanya di kepalanya, tanpa pernah mendengar suara dari lukisan-lukisannya yang tergantung di dinding rumah kayunya, yang berada di tangan Orpheus, yang ada di Desa Kworr. Semua lukisannya jelas telah mengetahui jawabannya. Namun suara-suara mereka semua berbeda dan hanya menghasilkan keheningan di telinga Niestre. Niestre ambil kanvas dan kuas sebagai senjatanya untuk menaklukan misteri terbesar semestanya, akan ia lukis siapapun manusia yang menciptakan bayangan dari cahaya api di hadapannya. Kemudian waktu pun bergulir desa berubah menjadi kota, pahlawan-pahlawan super bermunculan, Iron Man, Batman, saras 008, menyingkirkan nama Niestre yang hanya sekedar pahlawan di benak anak-anak yang kini tak lagi bermain di lapangan, Ibu-ibu sudah tidak lagi mendongengkan anak-anaknya, harga sembako membumbung tinggi, setiap malam mereka menakar-nakar kebutuhan beras untuk esok pagi. Bapak-bapak tidak lagi punya waktu kumpul membicarakan desa, kini mereka dihantui sistem kompetisi kota, mereka kerja pagi-malam demi memenuhi kebutuhan keluarga. Kisah-kisah Niestre tersingkir dari peredaran zaman
Tiga mahluk berjubah hitam berkepala ular telah sampai di depan gubuk kayu Niestre. Begitu mereka menginjakan kaki di atas bumi dalam sekejap lukisan api niestre berubah menjadi api sesungguhnya. Bukan sekedar hidup sebagai obyek lukisan, tapi benar-benar telah menjadi api seutuhnya. Lukisan api itu kini bukan hanya mengubah persepsi, namun telah melampaui batas-batas fisiknya sebagai lukisan. Api dalam lukisan Niestre menjalar ke luar dari kanvas. membakar tangan Niestre yang sedang melukisnya. Niestre terkejut, ia kibaskan tangannya yang terbakar api, namun api dalam lukisan itu tiba-tiba saja meledak mementalkan tubuhnya, Niestre jatuh terkulai lemas, sebelum otaknya mampu bertanya apa yang terjadi, lukisan itu telah membakar seluruh rumah kayu dan lukisan-lukisan Niestre yang lainnya. Api dari lukisan berkobar semakin besar, membakar apapun di sekeliling Niestre, Api itu mengitari Niestre, menjalar mendekatinya dari berbagai arah, kemudian membakar tubuh Niestre. Dalam kobaran api yang menyala-nyala membakar dirinya, Niestre dapat melihat tiga mahluk berjubah hitam membahana menembangkan syair. Dalam kobaran api yang menyala-nyala membakar dirinya, Niestre dapat mendengar suara-suara dari lukisannya yang terbakar. membahana menembangkan syair
Kini Ahasveros mewabah di atas bumi
Petualang yang tak pernah tahu jalan kembali
Demi mencari arti diri, terbang hingga ke arsy
Harus berakhir hangus, terbakar matahari!
Api dari lukisan terus membakar apapun. Semakin besar tak terkendali. Bahkan api dari lukisan telah membakar lukisan itu sendiri, membakar dirinya sendiri. Saat itu dari kobaran api munculah Empousa di hadapan Niestre. Empousa masih sama seperti ratusan tahun lalu saat Niestre pertama kali melihatnya di ambang pintu. Seorang perempuan muda dengan rambut hitam lurus terurai sepunggung dengan warna kulit coklat kemerahan, mata berbentuk almond dengan garis wajah oval, dan bibirnya yang kemerahan. Namun ada yang sedikit berbeda. Di atas kepalanya terdapat sebuah tonjolan yang mirip sekali dengan tanduk “Sesuai janji aku datang padamu saat telah kau lukiskan siapa dirimu sebenarnya. Kaulah manusia, makhluk penuh ambisi yang merusak dan membakar kehidupannya sendiri”. Empousa tertawa melengking, suara tawanya terus meninggi memekakkan telinga, kemudian seperti tertiup angin suara tawanya menghilang seiring hilang kembali dirinya. Lukisan api telah terbakar habis menjadi arang, lukisan yang Niestre ciptakan selama ratusan tahun kini tak jauh berbeda dengan kertas putih yang terbakar. Menyaksikan tragedi di bawahnya langit hitam mulai menangis, menurunkan hujannya. Air hujan yang jatuh ke bumi seperti membelai api yang bergolak, kemudian menggelayut manja dan padam. Tinggal asap yang tersisa ditinggal api yang kemudian hilang ditelanjangi angin. Maka selesailah sudah seluruh sandiwara.
Tangan Niestre telah menjadi arang, hanya sedikit sisa-sisa darahnya yang belum habis diuapkan api, namun kesadarannya belum hilang. Kini ia merasa asing setelah perjalanannya mencari arti diri yang begitu panjang. Kepulangannya kini tak lagi disambut seperti kepulangannya dari Desa Kwor. Di ujung hayatnya Niestre melihat dari atas bukit, desa kelahirannya telah menjadi kota, pohon-pohon telah berubah menjadi gedung-gedung tinggi, Niestre berada dalam realita yang sudah tak dikenalnya lagi. Niestre telah menjadi makhluk purbakala dan mati tanpa jejak. Tidak! Ia tidak mau mati di atas tanah yang tak dikenalnya. Ia kini begitu rindu pada kampung halamannya. Pada pohon-pohon yang melambai diterpa angin. Pada kabut yang sejuk membelai mimpi-mimpi. Pada senyum tulus dari penduduknya yang sederhana. Maka, bertinta hitam arang dan merah darah, ia buat sebuah lukisan terakhirnya di atas tanah. Dengan sisa keajaibannya ia buat sebuah lukisan yang menggambarkan desa kelahirannya. Padang rumput hijau membentang luas, dengan empat sungai yang mengalir membelah bukit, ditumbuhi pohon-pohon apel besar nan meneduhkan. Di atas lukisan itulah Niestre menghembuskan nafas terakhirnya. Di atas sebuah lukisan tentang desa yang permai dan sederhana yang di zaman ini orang-orang mengenalnya sebagai Taman Eden.

Sumber :http://cerpenmu.com/cerpen-fantasi-fiksi/lukisan-api-niestre.html

Serangan Zombie

Posted by Unknown

Hari ini ada yang lain dengan orangtuaku. Kalian tau? Sejak kemarin wajah mereka terlihat aneh. Pandangan mereka sangat kosong. Kulit mereka penuh dengan luka di tangan, wajah, dan kaki. Mengerikan! Mereka terlihat seperti mayat hidup. Kedua tangan mereka terjulur ke depan. Jalan mereka terpincang-pincang. Mulut mereka pun tidak henti-hentinya mengaum bak binatang buas. Pagi tadi mereka seperti hendak menyerangku. Aku kaget. Aku pikir mereka ingin membangunkanku untuk sarapan pagi. Tetapi, kurasa tidak. Mana mungkin Ayah dan Ibu membangunkanku dengan cara seperti itu? Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari ke luar untuk mencari pertolongan. Tetapi nyatanya, keadaan di luar pun begitu lengang. Benar-benar sepi. Kemana perginya semua orang?
Aku putarkan pandanganku ke segala arah. Berharap ada seseorang yang mau dan bisa kumintai tolong. Tapi sepertinya, itu sia-sia saja. Kulihat dari tadi tidak ada satu orang pun yang berlalu-lalang di sekitarku. Astaga! Tempat ini persis seperti kota mati! Namun, tiba-tiba saja ada seorang gadis kecil berambut panjang kemerahan datang menghampiriku dan menangis. Rambutnya acak-acakkan. Hampir di seluruh wajahnya dipenuhi debu dan kotoran. Pakaian yang dikenakannya pun terlihat lusuh dan juga berantakan. Apa yang terjadi dengan anak ini?
“Hiks… hiks, semua orang terlihat aneh. Wajah mereka sangat mengerikan. Aku takut!” ucapnya sambil terisak.
Aku dekati anak itu. Lalu aku tatap matanya dengan lembut seraya menenangkannya.
“Siapa namamu, dik? Kenapa kamu ada disini?” tanyaku.
Gadis itu menjulurkan tangannya padaku. “Namaku Lisa. Aku ingin mencari obat untuk ibu dan kakakku.” jawabnya.
Aku balas jabatan tangannya sambil mengerutkan kening. Obat? Untuk apa?
“Aku Rosiana Gilbert. Kamu bisa panggil aku Rose.” balasku seraya tersenyum.
Gadis kecil yang bernama Lisa itu mengangguk. Tak berapa lama, isak tangisnya berhenti. Syukurlah! Kemudian aku melanjutkan ucapanku. “Apa maksudmu dengan obat? Untuk apa memang?”
“Untuk memusnahkan virus zombitinus yang terjangkit di daerah ini!” jawabnya lagi.
Keningku semakin berkerut. Virus zombitinus? Apa itu? Aku belum pernah dengar sebelumnya. Apakah mungkin virus itu yang membuat anehnya sikap kedua orangtuaku?
Kini Lisa terlihat gelisah. Tidak ada lagi air mata yang mengalir di pipinya. Tapi matanya terus saja berpandangan ke segala arah. “Ayo, Rose! Kita harus cepat mendapatkan obat itu! Sebelum nanti semuanya terlambat!” desaknya dengan panik.
Aku benar-benar bingung. Aku tidak tau apa yang harus kulakukan. Mungkin sebaiknya aku ikuti anak ini dan mencari obatnya. Siapa tau dengan obat itu, aku bisa menyembuhkan orangtuaku juga.
“Tapi Lisa, di mana kita bisa mendapatkan obat itu?” tanyaku lagi.
Tapi Lisa hanya diam tidak bergeming. Matanya terus saja melihat ke depan. Kulihat kedua alisnya saling bertautan. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.
“Kita harus ke rumah sakit Santa sekarang! Kuharap obat itu masih ada. Karena hanya di sana satu-satunya harapan kita sekarang!” gumamnya seraya membalikkan badannya lalu melangkah meninggalkanku yang masih terdiam di tempat.
Rumah sakit Santa? Itu kan rumah sakit khusus penderita Necrosis! Jangan bilang obat itu ada di sana!
“Ayo, Rose! Cepat! Tunggu apa lagi!? Waktu kita tidak banyak!” teriak Lisa lagi dengan panik. Lalu ditariknya tangan kiriku dengan kencang.
Ya Tuhan, aku harap situasinya tidak menjadi lebih buruk lagi dari ini. Ya, semoga saja!
Dan akhirnya di sinilah kami, di sebuah ruangan kecil di rumah sakit. Kurasa ini adalah ruangan operasi. Karena dari tadi aku melihat banyak sekali peralatan operasi di meja. Keadaan di sini pun juga sama seperti tadi. Benar-benar lengang. Sedari tadi kami tidak melihat satu orang pun. Aku jadi heran. Kemana sih, perginya orang-orang? Tidak mungkin kan, mereka semua menghilang tanpa sebab. Apa jangan-jangan rumah sakit ini memang berhantu? Hii… memikirkannya saja, bulu kudukku sudah merinding. Lisa yang kini berada di pojok ruangan itu pun masih sibuk menggasak benda apa saja yang dia temui di situ. Matanya mengerjap gelisah.
“Tidak mungkin! Kenapa tidak ada? Di mana sebenarnya obat itu!?” desisnya lagi dengan panik. Semua alat-alat rumah sakit pun ikut berjatuhan ke lantai. Sepertinya Lisa tidak menemukan obat itu di sana.
Aku menghampirinya. Lalu kutepuk bahunya dengan pelan sembari mengajaknya ke luar dari sini.
“Mungkin bukan di sini. Ayo, kita cari di tempat lain!” kataku tersenyum seraya melangkah ke luar mendahuluinya.
Lisa pun mengangguk. Diikutinya aku dari belakang. Lalu diraihnya tangan kiriku, berusaha untuk menyusulku. Kusadari tangannya kini begitu dingin. Dingin sekali seperti batu es. Mukanya pun berubah pucat. Keringatnya mengucur dengan deras di dahinya. Aku jadi khawatir.
“Kamu tidak apa-apa, Lisa?” tanyaku.
Lisa hanya menggelengkan kepalanya. Lalu meneruskan perjalanan.
Terasa pikiran buruk mulai merasuki pikiranku saat ini. Kuperhatikan ada satu goresan luka kecil di lengan kanannya. Luka itu seperti luka gigitan.
“Luka apa itu di lenganmu, Lis?” lirikku padanya.
Tapi kudapati Lisa hanya diam tidak menjawab. Tiba-tiba Lisa menghentikan langkahnya. Ditundukkan wajahnya ke bawah. Rambutnya yang panjang menutupi sebagian dari wajahnya. Lalu, kudengar suara auman keluar dari mulut Lisa.
“Arrgghh…”
Ohh, tidak!
Kumundurkan langkahku perlahan menjauhi Lisa. Astaga! Jantungku kini berdegup dengan kencang. Kedua lututku terasa bergetar dengan hebatnya.
Lisa pun balik badan. Kini wajahnya berubah. Wajahnya persis seperti orang mati. Matanya menatapku dengan pandangan kosong. Warna di kedua matanya berubah merah. Benar-benar merah seperti darah. Kedua tangannya terjulur ke depan. Mulutnya pun kini terbuka dengan lebar. Seakan hendak menangkap dan mengigitku. Dia berjalan ke arahku dengan terpincang-pincang. Ya Tuhan! Aku baru sadar, kini Lisa berubah menjadi zombie. Pasti ada yang menggigitnya tadi sebelum dia menemukanku.
Tak berapa lama auman di mulut Lisa menjadi semakin kencang.
“Heghh… arrggghh…”
Ya Tuhan! Aku harus melarikan diri sekarang! Aku tidak mau menjadi zombie!!
Kupandangi seluruh lorong rumah sakit ini dengan panik. Aku harus kabur dari sini! Tapi di mana jalan keluarnya?
Perlahan langkah Lisa semakin dekat denganku. Dan aku terus memundurkan langkahku sebisa mungkin untuk menjauhinya. Sekaligus mencari kesempatan bagus untuk melarikan diri.
Tetapi… ah, sial! Aku terperangkap. Aku tidak bisa mundur lagi sekarang. Di belakangku berdiri sebuah tembok besar. Ya Tuhan! Ini jalan buntu!
Aku semakin panik. Nafasku tercekat. Keringatku mengalir dengan deras di wajah dan leherku.
Kini Lisa sudah berada tepat di hadapanku. Tangannya terus berusaha menggapai tubuhku. Tapi sebelum itu, aku berhasil mendorongnya hingga terjatuh.
BRUK!
Yes! Aku berhasil! Sekarang waktunya untuk melarikan diri! Terima kasih Tuhan!!!
Kutinggalkan Lisa yang kini berusaha bangun untuk mengejarku. Kesempatan ini tidak akan aku sia-siakan. Aku langsung berlari kencang ke depan seraya mencari jalan ke luar.
Suasana di rumah sakit ini benar-benar dingin dan lembab. Membuat semua bulu kudukku kembali meremang. Tetapi, ini bukan saatnya untuk takut. Yang penting, aku harus segera cepat pergi dari sini!
Namun tiba-tiba ketika aku sudah mencapai depan lorong, ohh… astaga! Tidak! Ini tidak mungkin! Banyak sekali para manusia zombie di sini. Mereka semua berkumpul membentuk barisan yang menghalangiku untuk ke luar. Jalan mereka terpincang-pincang. Mulut mereka terus mengaum seperti layaknya binatang buas. Mereka semua berjalan tertatih-tatih mendekatiku. Ya Tuhan! Apa lagi ini?
Aku kembali memundurkan jalanku. Berusaha menjauh dari para zombie itu. Tetapi… kini aku benar-benar terperangkap. Ketika aku terus memundurkan jalanku, di belakangku sudah berdiri Lisa yang juga terus berusaha untuk menggigitku.
“Hegh… arrgghh… arrr…”
Oh, tidak! Aku di kepung para zombie!! Siapa saja, tolong aku!!!
THE END
*Necrosis adalah suatu kondisi dengan banyak kemungkinan penyebab yang berbeda. Seperti kanker, racun, cedera, atau infeksi yang menyebabkan kematian sel prematur. Penyakit ini membuat penderitanya menjadi seperti mayat hidup, karena secara teknis sebagian tubuhnya telah mati. Kecuali otak, jantung, dan seluruh organ vital.

Sumber: http://cerpenmu.com/cerpen-horor-hantu/serangan-zombie.html

Alter Ego

Rabu, 28 September 2016
Posted by Unknown

Namaku Rendi Siregar, pemuda biasa yang hidupnya biasa-biasa saja. Hanya ada satu hal yang tidak biasa, saat aku melamun, waktu berlalu dengan cepat, bahkan mungkin terlalu cepat. Seperti kemarin, aku melamun dari hari senin, lalu tersadar di hari rabu. Aku tidak tahu apa penyebabnya, tapi ini nyata.
“Hai Ren, tumben kamu datang agak siang”, sapa Lia, nama lengkapnya Dahlia Puspa Mentari, teman sekelasku. “Ah itu, ada masalah teknis”, kataku menyipitkan mata seraya mengelus perutku. “Ha… ha… ha… kau ini”, ujar Lia tak mampu menahan tawanya. “Hei.. hei.. ada apa ini?”, tanya angga menghampiri kami. “Rendi.. hi. hi.. hi.. dia baru saja bersikap konyol”, Lia cekikikan. “Hei itu sesuatu yang manusiawi”, “iya, tapi caramu mengatakannya itu”. Angga hanya geleng-geleng kepala melihat kami.
Dahlia, entah sihir apa yang dipakainya. Tiap kali tersenyum, tubuhku gemetar lalu ada perasaan aneh dalam diriku. Mungkin ini yang disebut cinta atau karena lapar? Entahlah. Bukan aku saja yang menaruh hati padanya, Angga teman sekelasku tak jemu-jemu mendekatinya, tapi sepertinya Lia hanya menganggapnya teman saja. “Hei Ren, bisa kita bicara sebentar?”, ujar angga serius. Aku rasa dia mau bicara tentang Lia, dan semua orang tahu kalau dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, tak peduli seperti apa caranya. “Menyerah saja, kau tidak akan mendapatkan Lia. Memang uang bukanlah segalanya, tapi butuh uang. Kau tidak akan bisa membahagiakannya, kau cuma yatim piatu yang hidup dari belas kasihan paman dan bibimu”, ujarnya tanpa basa-basi kemudian berlalu. Hatiku benar-benar sakit mendengarnya, tapi memang begitulah kenyataannya. Tanpa perlu mengatakannya pun aku tidak akan mendekati Lia, karena aku sadar dimana tempatku berada.
Aku mencoba untuk menerima semua kata kata itu, tapi yang kudapat hanya rasa sakit, ia menuntunku terlelap dalam linangan air mata.
“Ngh… sudah pagi ya?”, desahku kalu melirik jam tanganku. Aku terhenyak, kudapati tanganku berlumuran darah menggenggam pisau yang masih meneteskan darah. Seketika tubuhku menggigil, tanganku bergetar hebat. “Ap.. a… yang su.. dah… terja… di…? Huaaa…!!!”.
Hari ini aku putuskan untuk bolos sekolah, aku benar-benar shock dengan apa yang baru saja kualami. Aku menyalakan tv, mungkin menonton kartun bisa membuatku merasa lebih baik. Sedang asyik nonton kartun tiba-tiba ada breaking news, mengganggu saja.. batinku. Aku terbelalak, aku masuk dalam berita itu, parahnya ini berita pembunuhan. Tega sekali angga.. kenapa dia memfitnahku seperti ini… aku meneteskan air mata. Tunggu, korbannya adalah angga. Jadi bukan dia yang melakukan ini. “Berikut rekaman kamera pengawas”, tu..tunggu… orang yang ada di rekaman cctv itu… aku…

“Apa apaan ini semua ini? ti.. tidak mungkin aku yang… tidak! Ini tidak nyata.. semua ini hanya mimpi buruk iya kan? Aku hanya perlu bangun… lalu semua akan baik baik saja.. iya kan?”, aku benar-benar terguncang. “Hanya orang bodoh yang bicara dengan diri sendiri”, seseorang tiba-tiba bicara. “Aku pasti sudah gila, aku mendengar seseorang bicara, padahal hanya ada aku disini”, “hei mau kuhajar ya!”, aku menggeleng. “Sekarang dia berniat menghajarku, sepertinya aku harus segera ke rumah sakit ji… arrgh…sakit…”, seseorang menjambak rambutku, ternyata itu Lia. Dia memalingkan wajahnya, lalu tidak mau bicara denganku. “maafkan aku Lia, aku tidak tahu kalau kamu ada disini maaf. Tapi kenapa kamu kemari? Kamu bisa kena masalah”, “justru karena itu aku kemari”, jelasnya. Aku menyernyitkan dahi, dia tidak mengerti, kalau dia ada di dekatku, orang lain akan mengira kalau dia juga terlibat. “Aku yakin bukan kamu pelakunya”, “isi rekaman itu sudah jelas bukan?”, “tidak, orang sekonyol dirimu tidak akan sanggup membunuh, bahkan seekor nyamuk”. Aku terdiam, “ngiiing… plak..!”, “ini aku membunuh nyamuk”, kataku sambil tersenyum. “Buukk..!!!”, sebuah tinju mendarat di hidungku. “Berhenti bermain-main!! Kau tidak tahu seserius apa situasi saat ini! Kalau kau tidak bisa membuktikan dirimu tidak bersalah, mereka akan memenjarakanmu, kau tahu tidak!”, bentak Lia. “Mereka? Lia jangan bilang kalau kau…”, “dasar gadis bodoh! Kenapa kau beritahu dia sebelum dapat informasi”, bentak seseorang dari luar. “Maaf a..aku tidak sengaja..”, ujar lia terbata-bata. Pintu didobrak dari luar, lalu sekitar 8 polisi mengepung kami. “Cepat kemari!, sebelum dia menyakitimu” teriak sang komandan. “Tidak.! Dia tidak akan menyakitiku! Dia temanku”, “Lia, pergilah. Biar aku menyelesaikan ini sendiri”, “tapi…”, “pergilah Lia..!!”, bentakku seraya mendorong tubuhnya. Rendi tertunduk, lalu tertawa cekikikan. “Ha. ha… ha…!! Akhirnya si pemilik tubuh membuang raganya..!”, rendi tertawa. Aku benar-benar tidak mengerti, dia tidak terlihat seperti rendi yang kukenal. Dan lagi dia mengatakan “si pemilik tubuh”. Mungkinkah ini. “Kau bukan rendi!, Siapa kau sebenarnya!”, dia hanya tersenyum, “Namaku, Budiman sudarso!”,
Budiman Sudarso? Rasanya nama itu memiliki kesan yang sangat kuat, tapi apa?. Kulirik para polisi yang dari tadi terdiam, wajah mereka memucat lalu mundur teratur perlahan. “Mustahil, jangan katakan kalau kau adalah hantu bocah psikopat yang kami eksekusi 4 tahun lalu”, kata seorang polisi. Benar juga, itu adalah kasus pembunuhan paling menghebohkan yang pernah terjadi. Dikabarkan kalau dia sudah membunuh beberapa orang tanpa rasa bersalah, termasuk ayahnya sendiri. Tidak berhenti sampai disitu, dia juga memutilasi tubuh para korban, benar-benar sadis. Dia tersenyum simpul, “aku merasa tersanjung, ternyata kalian masih mengingatku”. Orang ini benar-benar gila, dia seolah merasa bangga dengan apa yang sudah dilakukannya. Rupanya benar dugaanku, rendi memiliki kepribadian ganda. Hanya saja aku tidak menyangka kalau “dirinya yang lain” adalah orang ini. “Cepat katakan, kenapa kau membunuh Angga!”, “oh, ternyata temanmu itu namanya Angga. Aku tidak punya masalah apapun dengannya, tapi temanmu ini punya”. Aku makin tidak mengerti, “katakan dengan jelas apa yang ingin kau katakan!”, “temanmu ini mencintaimu, tapi si angga itu meremehkan, bahkan menghinanya”. Aku tersentak, ternyata selama ini rendi… kalau saja dari dulu aku meyadarinya, semua ini tidak perlu terjadi. “Baiklah nona, karena kau punya dosa yang sama aku…”, dia tidak meneruskan kalimatnya. Dengan cepat ia melocat ke arahku, “akan membunuhmu!!”. Aku tak bisa bergerak, kakiku mati rasa, kurasa aku akan segera menyusul Angga. Tangannya hampir mencengkram leherku, “Dor..!”, sebuah peluru bersarang di perutnya, Ia tumbang seketika. Aku jatuh terduduk, tubuhku benar-benar lemas.
“Tempat apa ini?”, tanyaku pada diri sendiri. Aku berada dalam ruangan kosong yang gelap, hanya ada sedikit cahaya di tempatku berdiri. “Selamat datang di alam bawah sadarmu, Rendi”, suara seseorang tiba-tiba. Aku benar-benar ketakutan, aku bahkan tidak bisa membuka mulutku. Terdengar langkah seseorang menuju kemari, cahaya mulai menerangi tubuhnya, aku mulai bisa melihat wajahnya. Mustahil… wajahnya… persis denganku… Siapa dia ini sebenarnya? Kataku dalam hati. “Namaku Budiman Sudarso”, jawabnya tiba-tiba. “Hoi, aku bahkan belum bertanya”, dia tersenyum, “disini kita tidak perlu bicara untuk mengobrol, tidak perlu berbagi untuk saling memahami”, “apa itu yang disebut kemampuan “Teleponesis”, “Telekinesis! dasar bodoh, sama seperti..”, dia tidak meneruskannya.
FLASHBACK
Tiba-tiba aku berada di sebuah rumah, terlihat dua orang kakak beradik saling bercanda. “Kak Budi lihat ini, bukan sulap bukan sihir”, ujar si adik seraya menunjukkan genggaman tangan kirinya, lalu dia meniupnya. “nih lihat”, katanya sambil membuka genggaman tangannya. “mana sulapnya? nggak ada apa apa kok”, “memang, kan bukan sulap bukan sihir, jadi bukan apa apa”, jawab si adik lalu menjulurkan lidahnya. Mereka terlihat saling menyayangi satu sama lain. Tunggu.. si adik tadi menyebut sang kakak “kak Budi”, jangan jangan ini masa lalu Budiman. Tiba-tiba sang kakak terlihat marah lalu pergi menunjuk rumah di seberang jalan raya, si adik sepertinya mencoba menghentikannya tapi sia-sia. Saat menyeberang jalan raya tiba-tiba sebuah minibus yang melaju kencang kehilangan kendali lalu menabrak si adik. Aku mendekati mereka, mendadak minibus yang menabrak tadi melarikan diri. “Kak… tolong jangan.. marahi dia… aku membiarkan dia… memukulku supaya dia memberitahu… sulap-sulapnya yang lain…”, ucap si adik lalu menghembuskan nafas terakhirnya. Jadi begitu, dia membiarkan dirinya dipukuli temannya supaya dia bisa menunjukkannya pada kakaknya. “Bodoh, dasar bodoh! Aku tidak butuh semua itu bodoh!”, sang kakak kehilangan kendali. Sejak hari itu, ayahnya terus berlaku kasar padanya juga pada ibunya. Lalu di suatu malam si ayah berniat membunuhnya dan ibunya, lalu bunuh diri. Tapi dia terbunuh secara tidak sengaja oleh sang kakak, ibunya terbangun, ia terkejut lalu menelepon polisi. Sang kakak melarikan diri, “tanganku sudah terlanjur berlumuran darah, biar aku habisi sekalian orang yang merenggut adikku”, ucap sang kakak. Dan begitulah, akhirnya dia ditangkap dan dieksekusi mati setelah membunuh si sopir minibus, teman adiknya, serta seseorang yang melihat aksinya.

“Seharusnya kau menghormati permintaan terakhir adikmu”, kataku saat sudah kembali ke alam bawah sadarku. “kau! Bagaimana kau…”, “kau sendiri yang mengatakan kalau kita tidak bisa menyembunyikan apapun disini”, “sial…”, desahnya. “Akhirnya aku mengerti, alasanmu membunuh Angga”, “aku melakukannya demi kesenanganku sendiri, itulah alasannya”, “Bohong!!, kau melakukannya karena kau ingin melindungiku, karena kau peduli padaku, karena kau melihat jiwa adikmu dalam diriku, karena aku telah mengisi kehampaan dalam hatimu”, kataku sedikit terbawa emosi. Dia terdiam, “kau benar, kau memang mirip adikku, konyol, bodoh, tapi memiliki empati pada orang di sekitarmu. Yah, sebagai ganti karena telah mengisi tempat adikku, aku akan selalu melindungimu, setuju?”, “baiklah, kakak”, “jangan seenaknya memanggilku kakak!”, bentaknya. “Masih ada yang mengganjal, kenapa tiba-tiba kau ada dalam tubuhku?”, “sesaat setelah aku dieksekusi mati, seorang bocah mengalami gagal jantung. Pihak rumah sakit meminta jantungku untuk dites kecocokannya, dan ternyata cocok. Akhirnya mereka mentransplantasikannya ke tubuh bocah itu, dan bocah itu masih hidup hingga sekarang”, urainya panjang lebar. “Dan siapa bocah itu?”, “dasar bodoh…”, desahnya.
Aku membuka mataku, aku berada di ruangan serba putih. Tiba-tiba bau obat menyeruak, masuk ke hidungku, rumah sakit ya? Batinku. “Rendi kamu sudah sadar?”, tanya seseorang, aku menoleh, Lia. Tiba-tiba dia memeluku dengan sangat erat, “kau selamat.. aku benar-benar mengkhawatirkanmu… maaf aku tidak menyadarinya selama ini…”, “hoi Lia… lepaskan… aku… tidak… bis…a…”, “tidak akan! Aku tidak mau kehilangan dirimu”, “kalau kau tid…ak… mele…paskan..ku… kau… akan menga…laminya…”, “tidak, jangan… oh maafkan aku”, akhirnya dia mengerti, melepaskan pelukannya. “Bagaimana dengan…”, tanyanya khawatir. “Oh jangan khawatir, aku dan Budiman sudah berteman sekarang”, “bukan itu, tapi lukamu”, “apa? Jadi aku terluka ya? Karena kau mengatakannya… agak terasa… aduuuhh.. sakit…”, “heeeh, jadi ini memang dirimu ya?”, desahnya. Lalu kulihat wajahnya tiba-tiba memerah, tingkahnya juga aneh. “Apa yang kau katakan di rumah itu benar?”, tanyanya sambil memainkan jarinya. “Memangnya ada apa?”, aku tidak ingat mengatakan hal semacam janji waktu. “Ah itu… aku… aku… aku…”, wajahnya makin memerah. “Aku juga mencintaimu!!!”, teriaknya lalu menutup mulutnya seolah ia tidak ingin mengatakan itu sebelumnya. Juga? Aku tidak ingat pernah mengatakanya. Tapi biarlah, yang penting Lia sudah mengungkapkan isi hatinya… batinku girang.

Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-fantasi-fiksi/alter-ego-2.html

“Angel, kamu jadi kan mau bertemu sepupu aku?” Tanya Nadya. Angel sangat senang jika ia bermain bersama sepupunya Nadya. Soalnya Angel suka kesepian di rumah.
“Okee,” ucap Angel sambil mengacungkan dua jempol.
Mereka pun sampai di sekolah. Angel dan Nadya harus naik turun tangga untuk mencapai ruang kelas mereka. Yaitu kelas 5A. Setelah 10 menit kemuadian, Angel dan Nadya sampai di ruang kelas mereka. Bel pun berbunyi.
Setelah 2 jam kemudian, Angel istirahat.
“Angel aku ke kantin ya” kata Nadya. Angel tidak menjawabnya. Ia terus melamun.
“DOR!” Nadya mengagetkan Angel. “Ada apa Nad?”
“Aku mau ke kantin mau ikut enggak?”
“Enggggg…”
“Kamu melamunin apa sih? Jangan-jangan kamu melamunin Rizky yang kemarin nabrak kamu sampai kamu mau ciuman kan?”
“NADYA!!! Enak ajah. Aku ngelamunin kotak yang kemarin aku temukan di sebelah meja belajarku. Ada 3 kotak berwarna Ungu, Biru, dan Kuning. Tapi, kata Mama harusnya di dalam kotak itu ada berlian. Kok enggak ada, nah kata Mamaku…” Nadya memotong ucapan Angel.
“Jangan ngehayal deh, ya udah kita ke kantin yuks” Nadya menarik tangan Angel.
“Tapi, kata Mamaku kita harus mencari seseorang yang menyukai warna kuning, kalau sudah kita akan berpetualang, dan kita akan menerima uang 1M untuk masing-masing ORANG!”
“HAH?!”
“Iya deh makanya kayanya kita harus tanya sepupu kamu deh Nad,”
“Yaa!”
Tak terasa bel pulang pun berbunyi. Angel tidak langsung pulang ke rumah, tetapi ke rumah Nadya. Karena kata Mama Angel, Angel harus pulang membawa 2 teman yang menyukai warna biru dan kuning. Ketika sampai di rumah Nadya…
“Chelsea sudah sampai sejak kapan?”
“Eh Nadya sudah dari satu jam yang lalu, siapa itu?” Sambil menunjuk ke arah Angel.
“Saya Angel. Sahabatnya Nadya”
“Saya Chelsea,”
“Chelsea, kamu suka warna apa?” Tanya Nadya.
“Semua warna aku suka. Tapi, yag paling ku suka, warna kuning. Emang ada apa Nad?”
“Chelsea, kita akan…” Omongan Angel terpotong oleh Nadya.
“Kita ngomong di kamar”
“Chelsea, kita akan mencari 3 berlian. Kaya berpetualang gitu, kita juga akan mendapatkan uang sebesar 1M rupiah. Gimana? Kamu mau ikut?” Tanya Angel dengan sungguh-sungguh.
“IYA!” Jawab Chelsea.
“Kita harus cepat-cepat nih!”
Ketika sampai di rumah Angel mereka semua masuk ke kamar Angel yang serba Biru. Seperti di langit.
“Angel, terus kita harus bagaimana?”
“Tenang, tenang Chel, kita buka kotak masing-masing sesuai dengan warna kesukaan sendiri. Sekarang kita buka. Satu… Dua… TIGA!!!”
“WAWWWWW” 5 detik kemudian mereka telah sampai di gerbang Diamond Land. Tiba-tiba, datang 2 orang manusia, hanya mereka memakai sayap.
“Mau apa kalian kemari?” Tanya salah satu seorang yang memakai sayap.
“Engggg, ka…ka…kamii…”
“TEMUI RATU!”
“Maaf yang mulia, kami menemui mereka bertiga di depan gerbang Diamond Land,”
“Terima kasih Tiger dan Tegar”
“Sama-sama yang mulia”
Angel, Chelsea, dan Nadya sedari tadi hanya memperhatikan foto anak yang seumuran seperti mereka.
“Suatu kehormatan. Ratu, siapakah anak dari foto-foto ini?” Tanya Angel memberanikan diri. Ratu pun menunduk.
“Saya mempunyai anak yang bernama Candy. Ia tertidur sejak 2 tahun yang lalu. Itu karena ia memakai 3 kalung berlian sekaligus,” Setetes air mata pun jatuh dari wajah Sang Ratu.
“Lalu peramal datang. Peramal berkata: ‘Nanti ada 3 orang anak akan datang. Mereka memiliki tanda bintang di bahu sebelah kanan. Mereka bertiga harus melepaskan puteriku dan memakai kalung yang membuat puteriku tertidur sangat lama”
Angel, Nadya, dan Chelsea melihat bahu sebelah kanan masing-masing.
“Tapi Ratu, kami memiliki tanda bintang itu” kata Angel.
“Tolong selamatkan puteriku,”
“Ta…ta…tapi…” Chelsea sedikit dongkol.
“Chel, Ngel, meningan kita turutin kemauan Ratu, aku iba kepada ratu,”
“Kalian bersedia?”
“YAA!”
“Silahkan masuk kedalam ruangan ini, tolong selamatkan puteriku,”
“Pasti,”
Angel, Chelsea, dan Nadya pun memasuki ruangan itu.
“WAW! Keren!” Kata Chelsea tiba-tiba.
“Itu puteri Candy” Angel berlari menuju puteri Candy. Di susul oleh Nadya dan Chelsea.
“Cantik banget” komentar Chelsea.
“Ayo kita ambil sesuai warna!” Angel menjelaskan. “Baik!” Jawab Nadya dan Chelsea serempak.
Setelah itu…
“Hoooaaii….” Putri Candy menguap.
“Kalian selamatkan aku?”
“Iya puteri,”
“Oh! Terima kasih! Terima kasih! Sebagai hadiahnya ambil ini!” Sambil memberikan tas yang lumayan besar.
“Apa ini?”
“Seperti kata-kata Mama kamu Angel,”
“UANG 1M?!” Angel masih tak percaya.
“Iya”
“Tuan puteri terima kasih, tuan puteri,” Angel, Nadya, dan Chelsea mengucapkan kata-kata itu berulang-ulang. Mereka pun keluar dari kamar Puteri Candy dengan memakai kalung berlian.
“Terima kasih. Kalian boleh pulang. Sekali lagi terima kasih.”
Angel, Chelsea, dan Nadya hanya mengangguk.
“Jangan lupakan akuu yaa, Love you” kata-kata terakhir dari putri Candy.
“Too” jawab angel, chelsea, dan nadya.
5 detik kemudian…
“Angel, bagaimana petualangannya?” Tanya Mama Angel.
“Mama dari tadi menunggu di sini?”
“Iya donk,”
“Maaf tante, kami pulang dulu,”
“Nad, cepet aq laper” kata chelsea.
“Sudah-sudah mari kita makan dulu,” kata Mama Angel.
-TAMAT-

Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-fantasi-fiksi/diamond-adventure-petualangan-ke-negeri-berlian.html
Welcome to My Blog

Translate

Flag Counter

Arsip Blog

Popular Post

- Copyright © My Fantasy World Blog -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -