Posted by : Unknown
Sabtu, 24 September 2016
Apa kalian percaya pada dewa atau peri? Aku hampir tidak percaya atau mungkin sama sekali tidak percaya dengan keberadaan mereka, jika saja ia tak muncul. Orang yang mengaku sebagai kakekku, tapi tak kutahu dari mana datangnya. Ia berdiri di depanku dengan tiba-tiba. Sempat kuanggap diriku gila, saat kutanya orang-orang di sekitarku, tak ada yang bisa melihatnya. Ku kira mereka bercanda, tapi ternyata orang itu memang bukan manusia. Belakangan kutahu ia setan atau sebangsanya.
***
Aku masuk ke kelas dengan canggung. Berjalan mengendap-endap seperti maling, berharap mereka tidak memperhatikanku tapi sialnya dari awal mereka sudah melihatku. Mereka mengejar setiap langkahku dengan mata mereka sampai kuputuskan untuk duduk di bangku paling belakang dan paling pojok di ruang kelas (setan) ini. Aku menunduk sedalam-dalamnya, seakan tatapan mata mereka mampu menghujamku dengan ribuan cangkul.
SSSHH..
“Haaaiiii!!” aku terlonjak, hampir terjungkal jika saja aku tidak segera berdiri dari kursiku. Ada (entah aku bisa menyebutnya orang atau tidak) tepat di kolong mejaku, ia menjulurkan kepala dan tersenyum dengan sumringah tanpa ampas bersalah sama sekali. Aku menahan diri untuk tidak menendang kepalanya.
Ia menatapku bingung, “Kaget, ya?” senyumnya ingin kucongkel.Menurut loe?
Ia menarik tubuhnya dari kolong mejaku dan berdiri tepat satu senti di depanku. Aku mengalihkan muka cepat agar wajah kami tak bersinggungan. Aku berdiri mentok dengan dinding di belakangku. “Wah.. manusia emang beda, yah! Auramu tipis sekali.” Kau yang tipis! Kalau tidak, mungkin seluruh manusia di dunia bisa melihatmu mondar-mandir!
“Bi.. bisa kau mundur? Aku hampir tidak bisa bergerak!” pintaku sedikit memerintah. Ia menarik kepalanya dan melompat duduk di atas mejaku. Aku menghembuskan nafas lega. “Sekarang, menyingkir dari atas mejaku!” ia menggeleng.
“Tidak bisa.” Ucapnya datar.Golok mana golok?. Aku menatapnya kesal. Apa setan tidak punya sopan santun,simpati, empati,etika, atau tata krama?
“Minggir!” perintahku hampir membentak. Semua murid (setan) menatapku dengan kening berkerut. Sebagian dari mereka mencibir.
“Sudah kubilang tidak bisa!” ulangnya bersikukuh. “...karena ini bangkuku!” imbuhnya. Aku tertegun.
***
Datang-datang merebut bangku setan, duduk di samping setan, punya teman sekelas setan, diajar oleh setan pula. Hidup macam apa ini?
“Haahh..” aku menaruh kepalaku di atas meja dengan malas.
“Ya, Orisa! Coba kerjakan ini!” aku menegang. Duduk tegap di kursiku, lalu menoleh ke sekeliling ruangan. Aku?
“Iya, kau!” setan kolong berbisik ke arahku seolah bisa membaca pikiranku.
Aku menatap papan yang terbuat dari arang itu. Mencoba menelaah apa yang tertulis di sana, tapi aku sama sekali tidak mengerti. Apakah ini pelajaran setan? Aku tidak bisa membaca api yang timbul tenggelam di papan arang itu, tulisan setan? Aku benar-benar merasa gila sekarang.
“Apa kau tak dengar?” guru itu membaca kebimbanganku.
“Bu.. bukan begitu, saya tidak bisa membaca tulisan itu.” Jawabku terus terang. Nyaliku langsung menciut melihat tatapan ganas dari guru itu. Mungkin sebenarnya aku terlihat seperti daging ayam setan di matanya. Hening. Tidak ada yang bereaksi.
“Apa?!” suara guru itu menggelegar. Membuatku puyeng. Jantungku hampir berlarian karena kaget. “Yang benar saja!” ia menggebrak meja. Semua murid terlihat terlonjak, apalagi aku. Jika tidak kutahan, aku sudah lari dari tadi.
“Ap.. apa itu tulisan setan? Maksud saya, saya kan manusi..”
“Hei! Tutup mulutmu!” guru itu memotong ucapanku. Aku mengigit bibir, hampir menangis dibuatnya. “Dasar anak manusia! Kenapa kau tak mewarisi setetespun darah ayahmu?!” aku mengerutkan kening mendengarnya. “Ibumu itu memang tak tahu malu! Menikah dengan makhluk dari kalangan kami, sama tak tahu malunya denganmu!” ia terlihat sangat marah.
Kenapa bawa-bawa ibuku? ingin kubungkam mulutnya tapi aku tak mampu.
“Seharusnya kau tinggal di bumi! Bersama manusia-manusia serakah dan tak tahu diri!” jika kami serakah dan tak tahu diri lalu kalian apa?. Aku menelan ludah dengan susah payah. Berharap air mataku tak keluar. “Ayahmu itu bangsawan setan! Sedangkan ibumu apa? Mungkin aku bisa menyebutnya..”
BRAKK!
Aku tersentak ketika meja di sampingku melayang dan membentur dinding. Meja besar itu hancur menjadi debu. Tepat beberapa senti saja dari guru itu, membuatnya melotot karena kaget. Aku menoleh ke samping.
“Waduh, telingaku hampir soak mendengar semua perkataanmu..” setan kolong meja itu mengorek telinganya. “Hanya tak bisa membaca tulisanmu saja kenapa bawa-bawa keluarga?” ia mengedikkan bahu, lalu melirikku. Menggenggam tanganku dan entah bagaimana, menyeretku dari kelas ini.
***
Aku duduk di tepi tempat tidurnya. 3 hari setelah kejadian itu.
“Apa tak apa? Kau diskors gara-gara aku.” Tanyaku canggung ia melihatku sambil menyelipkan rambut pirangnya ke belakang telinga.
“Tak masalah, hanya sebulan.. anggap saja liburan!” jawabnya enteng. Apanya yang cuma sebulan?
“Oya, setan kolong!” panggilku. Ia mendelik ke arahku. “Sejak pertama, aku belum menanyakan namamu..”
“Gia.” Jawabnya cepat. Aku mengangguk.
“Eeeh?” aku terlompat dari tempat tidurnya. Berdiri. Memandangnya dari atas sampai bawah. “Kau.. cewek?” tanyaku tak percaya.
“Memangnya aku terlihat seperti cowok?” sangat!, “Ya, sih.. rambutku kupotong pendek, tapi ‘kanmasih keliatan cewek!” suaramu bahkan mirip guru itu! Bentuk tubuhmu juga tidak menyiratkan sama sekali bahwa kau cewek!, aku menelan semua kata-kata yang ingin kuucapkan.
Aku memperhatikannya. Terkejut ketika melihat matanya. Mata dengan warna biru hazel yang indah, apa benar dia setan?
“Kenapa?” tanyanya menangkap pandanganku. Aku gugup.
“Eh, tidak! Hanya saja kau akan tampak lebih cantik jika rambut pirangmu itu kau biarkan panjang.” saranku. Ia mengangguk sambil memainkan kalungnya. Kalung berwarna sama dengan matanya. “Kalung apa itu?” aku tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya padanya.
Ia melihat ke arah kalungnya. “Oh, ini..” dia menunjukkannya lebih jelas padaku. “Kalung keluargaku, kalung ini bisa membuatku bertukar tempat dengan orang lain! Tapi, harus digunakan dengan baik karena hanya berfungsi sekali seumur hidup.” Aku manggut-manggut mendengar penjelasannya. “Hanya saja, menggunakannya akan beresiko.”
“Resiko apa?”
***
“Setan di sini wujudnya seperti manusia, ya?” aku memandang ke sekeliling taman. Hampir tidak dapat dibedakan mana manusia dan mana setan. Gia menoleh dan mengangguk.
“Tapi, ini semua bukan wujud asli mereka..” jawab Gia santai. “Bahkan, sifat mereka pun sebenarnya bisa berubah sewaktu-waktu dan masing-masing dari kami memiliki kemampuan yang berbeda.” ia memakan es krim yang tadi dibelinya.
Aku memandang langit, “Jadi ini juga bukan wujud aslimu, ya? Meskipun begitu, aku suka matamu.. matamu menatap sama kepada semua orang, termasuk aku! Meskipun aku manusia..” Gia menatapku tak mengerti. “Aku ingin bangga pada diriku yang terlihat di matamu!” aku tertawa, tertawa tanpa alasan.
BUMBB!
Gia memelukku ketika tubuh kami melayang dihantam angin yang sangat kencang entah dari mana datangnya. Aku terpaku. Tubuhku mendarat di tanah dengan rasa sakit yang sangat.
“Ukh!” aku memegang punggungku. “A.. apa itu?” aku mencoba duduk. Gia sudah berada di depanku, melindungiku dengan tubuhnya.
“Serangan..” jawabnya tanpa menoleh. Matanya lekat pada kepulan asap yang semakin memudar. “Setan mana yang melakukan ini? Cih!” ia menatap jijik pada kepulan asap yang telah benar-benar hilang. Aku terbelalak ketika kutemukan sosok yang kukenal baru-baru ini, berdiri di tengah kepulan asap. Kakek?
“Wah, wah! Reaksi yang bagus, Gia!” kata kakek sambil bertepuk tangan pelan. Wajahnya menyiratkan kelicikan yang tak kusuka. Bukan. Bukan wajah ini yang kulihat ketika di bumi. Dia terlihat menyeramkan sekarang. Aku beringsut ke belakang punggung Gia.
Gia tersenyum kecil. “Maksudmu, kakek tua?” tanya Gia dengan nada mengejek. “Apa maksudmu menimbulkan ledakan seperti tadi? Kau mau menyakiti cucumu sendiri?” aku tertegun mendengar ucapan Gia.
“Se.. sebenarnya ada apa ini?” aku meremas jaket Gia sambil memandang ke arah kakek. Taman ini langsung sepi seketika, setan-setan di sini semua menghilang. Begitu cepatnya sampai aku tak menyadarinya sama sekali. Kakek mengedikkan bahu.
“Aku hanya mau berterimakasih karena kau sudah membawa setan kecil itu kemari!” kakek tersenyum sinis sambil menunjuk Gia. Raut wajah Gia terlihat menegang. Aku tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh kakek.
SShh..
Sedetik kemudian 2 orang sebangsa setan lainnya muncul, entah darimana. Mereka memandang kami dengan mata merahnya. Yang 2 ini kurasa muncul tanpa pakai make up, asli jelek banget. Aku menahan tanganku untuk tidak tiba-tiba mencolok mata mereka.
“Memangnya kau pikir untuk apa aku membawamu kemari? Kau yang bahkan tak punya kekuatan setan setitikpun ini, takkan berguna selain untuk menangkap setan kecil ini.” dengan tenangnya, kakek menyebut-nyebut Gia sebagai ‘setan kecil’.
Aku berpikir. Aku mulai mengerti dengan apa yang dibicarakannya. Pantas saja tiba-tiba dia muncul dan mengaku kakekku, ternyata tujuan sebenarnya adalah supaya aku sekelas lalu berteman dengan Gia. Tapi, untuk apa? Aku menggertakkan gigiku.
“Apa urusanmu dengan Gia sebenarnya? Aku dimanfaatkan hanya untuk ini? Kurang ajar sekali kau!” aku berdiri. Membentak kakek tua tak tahu malu itu. Sorot mata kakek mengisyaratkan bahwa ia akan membunuhku dengan segera. Setan semua sama saja. Aku berdiri di depan Gia, mengalinginya dengan tubuhku. “Kau tak boleh menyentuhnya!” aku mengancam kakek.
“Fufufu..” kakek hanya tertawa kecil mendengarnya. Bagian mana yang lucu? Apa aku ketinggalan bagiannya? Gia ikut berdiri sambil memegang lenganku.
“Apa yang sedang kau lakukan?” Gia berbisik dan mencoba menurunkan tanganku. Aku menoleh padanya.
“Aku memang tidak tahu ada masalah apa denganmu dan kakek, tapi aku tak akan membiarkanmu diapa-apakan olehnya! Seenaknya saja memanfaatkanku untuk hal licik seperti ini!”
“Tapi kau bahkan tak punya kekuatan sepeserpun, yang ada kau nanti mati!” Gia berucap dengan cepat. Mencoba mengingatkan kembali posisiku. Aku menunduk.
Kenapa aku selalu merasa tidak berguna? Tidak di bumi, tidak di sini, sama saja. Lalu apa kegunaanku sebenarnya? Menyusahkan orang lain?
“Minggirlah cucuku yang manis!” kakek menyeringai, ”Aku sudah tidak sabar menghabisi setan kecil itu, kau yang tak punya kekuatan hanya akan menambah jumlah mayat saja!” jantungku berdetak kencang mendengarnya. Apa ini kata-kata yang pantas diucapkan seorang kakek kepada cucunya? Kakek macam apa dia ini? Emosiku berada di puncak seketika.
“Lalu..” aku menggenggam tangan Gia. Ia menoleh dengan raut yang tak bisa kuterjemahkan. “Lalu apa gunanya aku jika melindungi temanku saja aku tidak bisa?”
‘Sudah kubilang tidak bisa! Karena ini bangkuku!’
“Ia pantas diperjuangkan karena kini aku punya teman yang juga memperjuangkanku!”
‘Waduh, telingaku hampir soak mendengar semua perkataanmu..’
“Aku ingin melindungi temanku! Karena akulah sebab segala masalahnya!” aku berteriak. Tangan Gia menegang. “Mulai.. mulai dari bangku, sampai dia diskors.. kini aku membawanya berada di tengah ini semua! Sebenarnya apa salahku? Kenapa selalu aku?” aku maju ke arah kakek perlahan. Melepaskan genggamanku pada Gia.
‘Tak masalah, hanya sebulan.. anggap saja liburan!’
“Semua tentangnya berharga bagiku!” aku berteriak.
BBZZZTTT!!
Langkahku terhenti.
“Kyyaaaa!” Gia menjerit.
Kakek menurunkan tangannya. Aku menunduk perlahan. Mengangkat tanganku yang sudah tidak berasa. Aku terbelalak ketika darahku mengucur dengan derasnya dari perutku. Aku memandang kakek tidak percaya sambil berusaha menegakkan tubuhku agar tidak limbung. Tapi yang kurasakan hanya rasa sakit.
Bruk..
Tubuhku limbung ke tanah. Darah perlahan muncrat dari mulutku.
“Ori!!” Gia berlari ke arahku, tapi 2 orang setan itu menangkapnya. Menjauhkannya dariku. Gia menjerit. Mencoba melepaskan diri dari mereka. Aku menangis. Kenapa selalu aku?. Aku terbatuk. Perih menjalar ke seluruh tubuhku. Aku tak pernah merasakan seluruh tubuhku terasa seperih ini. Sesakit ini. Kenapa aku tak bisa menjaga temanku?
Gia menangis. Ia memegang kalungnya. Aku tak mendengar apa yang diucapkannya. Ia menjerit, meronta.. mataku perlahan menutup walaupun aku enggan. Aku tak mampu melihatnya lagi. Semua menjadi gelap. Maafkan aku.
***
Aku terbangun. Meregangkan tubuhku dan melihat ke sekeliling. Taman? Aku mengucek mataku. Kenapa aku ada di sini? Aku mencoba membangun kembali batu bata memoriku yang telah runtuh. Aku tak mampu mengingat apapun. Kualihkan pandanganku pada langit. Yaampun! Aku meremas kepala. Bagaimana bisa aku tidur santai di sini? Aku harus pulang! Ibu akan mencariku! Bodohnya aku! Aku bangkit dari kursi taman dan berlari sambil melihat jam tanganku yang sudah menunjukkan angka 4.
Bruk!
“Aww!” aku menahan keseimbangan tubuhku. Melihat siapa yang tadi kutabrak. “Ma.. maaf!” aku membantunya berdiri. Dia berdiri sempoyongan.
“Tidak apa, aku yang salah!” ia merapikan bajunya, lalu berjalan melewatiku. Aku memperhatikan gadis berambut pirang panjang yang terus berjalan menjauh dariku itu. Aku tertegun. Ia memiliki sepasang mata hazel warna biru yang indah.
***
“Resiko apa?” tanyaku menggebu-gebu. Gia menyunggingkan senyum menggodaku. “Ah, ayolah.. aku ingin tahu!” rengekku padanya. Ia terkekeh.
“Baiklah, baiklah!” ia mengangkat tangannya menyabarkanku, “Resikonya, orang yang bertukar denganku akan kehilangan ingatannya, begitu juga denganku. Tapi, aku akan bereinkarnasi menjadi manusia.. merepotkan sekali, ya?” ia tertawa melihat wajahku yang memandangnya tak percaya.
Sumber: http://akihabaranime.blogspot.co.id/2014/01/contoh-cerpen-fantasi-setan-bermata.html?m=1